Wajah Sekolah ada pada Kepala Sekolah

August 20, 2015

Tulisan ini sengaja saya rangkum sebagai suatu kenang-kenangan terakhir, dimana saya sebagai Kepala Sekolah pertama periode 2005-2015 sekaligus sebagai salah satu pencetus ide berdirinya sekolah ini, telah mengakhiri masa jabatan saya.. Dengan sedikit tetesan air mata, kulepaskan jabatan ini mengingat semua upaya dan perjuangan serta rintangan sudah berhasil dilalui dan membuahkan hasil yang tidak sedikit… Faktor usialah yang menyadarkan saya untuk mengkader kepala sekolah yang baru… inilah sedikit cerita singkat saya, pemotivasi berdirinya sekolah ini… silakan disimak..

Latar Belakang

        Biasanya di awal tahun ajaran baru para orang tua menjadi pusing memikirkan kelanjutan pendidikan putera-puteri mereka. Berhadapan dengan biaya sekolah yang mahal dan beban ekonomis yang berat rasanya tak kuat lagi hidup di dunia ini. Alhasil, mereka cenderung memilih sekolah negeri. Kalau pun ada sekolah swasta maka lebih sering putera-puterinya diarahkan kepada sekolah-sekolah swasta yang gencar promosinya, walaupun belum mengetahui apa yang sebenarnya ada dan akan terjadi. Ada juga orang tua yang sering mengklarifikasi eksistensi sekolah dan kemajuannya sehingga melihat prospek sekolah sebagai wacana utama sebelum menjatuhkan pilihan.

           Namun sedemikian urgennya wacana mengenai kemajuan sekolah tidaklah lebih urgen bila orang memberikan atensinya pada kiprah kepala sekolah. Eksplorasi argumen dapat diberikan pada pernyataan ini.

            Pertama, kepala sekolah adalah pelaksana suatu tugas yang sarat dengan harapan dan pembaharuan. Kemasan cita-cita mulia pendidikan secara tidak langsung diserahkan kepada kepala sekolah. Optimisme orang tua yang terkondisikan pada kepercayaan menyekolahkan putera-puterinya pada sekolah tertentu tidak lain berupa fenomena menggantungkan cita-citanya pada kepala sekolah. Peserta didik dapat belajar dan membelajarkan dirinya hanya karena fasilitasi kepala sekolah. Seonggokan aturan dan kurikulum yang selanjutnya direalisasiakan oleh para pendidik sudah pasti atas koordinasi dan otokrasi dari kepala sekolah. Singkatnya, kepala sekolah merupakan tokoh sentral pendidikan.

        Kedua, sekolah sebagai suatu komunitas pendidikan membutuhkan seorang figur pemimpin yang dapat mendayagunakan semua potensi yang ada dalam sekolah untuk suatu visi dan misi sekolah. Pada level ini, kepala sekolah sering dianggap satu atau identik, bahkan secara begitu saja dikatakan bahwa wajah sekolah ada pada kepala sekolahnya. Di sini tampak peranan kepala sekolah bukan hanya seorang akumulator yang mengumpulkan aneka ragam potensi penata usaha, guru, karyawan dan peserta didik; melainkan konseptor managerial yang bertanggungjawab pada kontribusi masing-masingnya demi efektivitas dan efiseiensi kelangsungan pendidikan. Akhirnya, kepala sekolah berperanan sebagai manager yang mengelola sekolah. Sayang sekali kalau kedua peran itu yakni sebagai tokoh sentral dan manajer dalam sekolah diharubirukan oleh ketakmampuan mengatasi aneka krisis yang ada dalam sekolah.

Manajer di Sekolah

Mengimbangi krisis yang ada, kepala sekolah tidak hanya dituntut sebagai educator dan administrator, melainkan juga harus berperanan sebagai manajer dan supervisor yang mampu menerapkan manajemen bermutu. Indikasinya ada pada iklim kerja dan proses pembelajaran yang konstruktif, berkreasi serta berprestasi.

            Manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada dan yang dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk mencapai visi dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas jalannya lembaga sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda terdepan dan dapat diukur keberhasilannya.

            Pada prinsipnya manajemen sekolah itu sama dengan manajemen yang diterapkan di perusahaan. Perbedaannya terdapat pada produk akhir yang dihasilkan. Yang dihasilkan oleh manajemen sekolah adalah manusia yang berubah. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak berpengalaman menjadi berpengalaman, dari yang tak bisa menjadi bisa. Sedangkan sasaran manajemen perusahaan itu pada kualitas produksi benda-benda mati. Jadi, manajemen sekolah berandil kuat pada pembentukan kualitas manusia yang merupakan generasi penerus bangsa. Atensi masyarakat yang telah teralienasikan akibat propaganda wacana teknologi dalam pembelajaran harus segera diobati dengan mengedepankan wacana kualitas kepala sekolah. Realitas sekolah itu dimanage oleh kepala sekolah bukan pada kata-kata para marketer yang mengejar target siswa demi perolehan bonus.

            Para ahli manajemen seperti Michael A. Hitt & R. Duane Ireland & Robert E. Hoslisson (1997,1 8) melihat bahwa salah satu input strategis bagi langkah maju perusahaan adalah membentuk konsep yang berbasiskan sumber daya manusia demi suatu profitabilitas yang tinggi. Tak ada salahnya konsep ini dipakai di sekolah. Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa keberhasilan sekolah tergantung pada teknik mengelola manusia-manusia yang ada di sekolah untuk suatu keberhasilan yang tak terukur nilainya yaitu pemanusiaan manusia dalam diri peserta didik dan penghargaan bagi rekan-rekan pendidik sebagai insan yang kreatif dan peduli akan nasib generasi penerus bangsa.

            Tujuh kegiatan pokok yang harus diemban kepala sekolah yakni merencanakan, mengorganisasi, mengadakan staf, mengarahkan/orientasi sasaran, mengkoordinasi, memantau serta menilai/evaluasi. Melalui kegiatan perencanaan terjawablah beberapa pertanyaan: Apa yang akan, apa yang seharusnya dan apa yang sebaiknya? Hal ini tentu berkaitan dengan perencanaan reguler, teknis-opersional dan perencanaan strategis (jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang). Kepala sekolah mulai menggarap bidang sasaran yang mungkin sebelumnya sudah dikaji secara bersama-sama.

            Dalam kegiatan perencanaan, garapan bidang sasaran itu dibagi, dipilah, dikelompokkan serta diprioritaskan. Pusat perhatian dan pemikiran tertuju kepada pertanyaan: Bagaimana membagi, memilah dan mengelompokkan sasaran itu sehingga dapat diselesaikan? Tentu saja atas hasil pertimbangan partisipatif yang menghengkangkan persepsi keliru mengenai “meeting sama dengan pemberitahuan”.

            Pada kegiatan selanjutnya yaitu pengadaan staf, yang dilakukan adalah berpikir tentang siapa yang diperlukan dan dipercayakan dalam bidang garapan itu masing-masingnya setelah dipilah-pilah dan diprioritaskan. Adakah dan siapakah orangnya dan bagaimana mengikutsertakannya?

            Pertanyaan mengenai kejelasan siapa yang harus mengarahkan dan dari siapa pengarahan/petunjuk itu didapatkan dilakukan pada tahap pengarahan/orientasi sasaran. Apa yang harus diberitahukan? Bagaimana mengerjakannya? Kapan mulai dan kapan selesai?

            Kemudian dalam tahap pengkoordinasian yang harus dilakukan adalah menjadwalkan waktu pengerjaannya agar masing-masing bagian dapat mulai dan selesai pada waktunya. Di sini ada keharusan bagi yang diserahi tugas menggarap bagian-bagian tertentu kembali mempertanyakan kapan harus mulai dan kapan harus mempertanggungjawabkannya. Mereka harus memperhitungkan secara matang dan tepat mengenai waktu yang harus digunakan selama proses garapan berlangsung. Hal ini bukan berarti kalau terkejar deadline maka pekerjaan harus urak-urakkan.

            Kepala sekolah dapat mengetahui bagaimana proses pengerjaan itu terlaksana sesuai rencana, cara, hasil dan waktu penyelesaian. Kegiatan ini dapat dipantau agar memperoleh informasi perkembangan yang aktual. Antisipasi pun bisa dilakukan terhadap hal-hal yang tak sesuai dengan rencana.

            Untuk penilaian atau evaluasi, kepala sekolah dapat memperoleh kesesuaian rencana dengan realitas melalui eksplorasi pertanyaan-pertanyaan. Apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan yang direncanakan? Adakah perbaikan yang dapat dilakukan? Pada tahap ini kepala sekolah dapat memberikan penghargaan kepada mereka yang berprestasi dan pembinaan bagi mereka yang gagal atau kurang berprestasi. Sangat lucu kalau supervisi kepala sekolah hanyalah kewajiban dari Diknas dan hasilnya digunakan sebagai alasan pemecatan bagi rekan-rekannya.

            Seorang manajer sekolah bertanggung jawab dan yakin bahwa kegiatan-kegiatan yang terjadi di sekolah adalah menggarap rencana dengan benar lalu mengerjakannya dengan benar pula. Oleh karena itu visi dan misi sekolah harus dipahami terlebih dahulu sebelum menjadi titik tolak prediksi dan sebelum disosialisasikan. Hanya dengan itu kepala sekolah dapat membuat prediksi dan merancang langkah antisipasi yang tepat sasaran. Selain itu diperlukan suatu unjuk profesional yang kelihatan sepele tetapi begitu urgen seperti kemahiran menggunakan filsafat pendidikan, psikologi, ilmu kepemimpinan serta antroplogi dan sosiologi.

Guru dan Siswa adalah Mitra Kepala Sekolah

Penggunaan School Based Management (Manajemen Berbasis Sekolah) oleh Pemerintah Indonesia dalam kerangka meminimalisasi sentralisme pendidikan mempunyai implikasi yang signifikan bagi otonomi sekolah. Hal itu berarti sekolah diberikan keleluasaan untuk mendayagunakan sumber daya yang ada secara efektif. Oleh karena implikasi itu maka sekali lagi peran kepala sekolah sangat dibutuhkan untuk mengelola manusia-manusia yang ada dalam organisasi sekolah, termasuk memiliki strategi yang tepat untuk mengelola konflik. Kepala sekolah akan berhadapan dengan pribadi-pribadi yang berbeda karakter.

            Yang penting baginya adalah mempunyai pemahaman yang tangguh akan hakikat manusia. McGregor (1960) berasumsi bahwa manusia tidak memiliki sifat bawaan yang tidak menyukai pekerjaan. Di bawah kondisi tertentu manusia bersedia mencapai tujuan tanpa harus dipaksa dan ia mampu diserahi tanggung jawab. Urgensitasnya bagi kepala sekolah adalah menerapkan gaya kepemimpinan yang partisipatif demokratik dan memperhatikan perkembangan profesional sebagai salah satu cara untuk memotivasi guru-guru dan para siswa.

            Selain itu berlandaskan teori Maslow (1943), kepala sekolah juga disentil dengan persepsi bahwa guru dan siswa berkemungkinan memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda. Yang pasti mereka akan mengejar kebutuhan yang lebih tinggi yakni interaksi, afiliasi sosial, aktualisasi diri dan kesempatan berkembang. Oleh karena itu, mereka bersedia menerima tantangan dan bekerja lebih keras. Kiat kepala sekolah adalah memikirkan fleksibilitas peran dan kesempatan, bukannya otoriter dan “semau gue”. Demi kelancaran semua kegiatan itu kepala sekolah harus mengubah gaya pertemuan yang sifatnya pemberitahuan kepada pertemuan yang sesungguhnya yakni mendengarkan apa kata mereka dan bagaimana seharusnya mereka menindaklanjutinya.

Sekolah dan Wajah Kepala Sekolah

Dalam hal kekurangberhasilan wajah sekolah mungkin tepat dilekatkan pada kepala sekolah. Bahkan bukan sekedar melekatkan melainkan suatu konsekuensi kiprah regulasi kepala sekolah. Ibarat nahkoda yang menjalankan sebuah kapal mengarungi samudera, kepala sekolah mengatur dan memanajemeni segala sesuatu yang ada di sekolah. Dengan demikian, yang harus bertanggung jawab atas kandasnya sebuah sekolah dan gagalnya peserta didik adalah kepala sekolah.

            Apabila sekolah menuai keberhasilan maka kinerja kepala sekolah telah terukur. Semakin banyak orang yang menikmati kepuasan batin, yakni dihargai, diberdayakan dan prestatif adalah tanda-tanda kemajuan bagi kepala sekolah. Nahkoda sekolah telah mendekatkan keberhasilan para penumpang pada wilayah tujuan yang ingin diraihnya. Peserta didik merasa enjoy dan betah bila berada di sekolah. Proses pembelajarannya telah menjadikan peserta didik lebih manusiawi dan semakin menemukan diri mereka sendiri. Para guru mempunyai sense of belonging yang tinggi akan sekolah. Kualitas sekolah dirajut dan dipertahankan. Bukan tidak mungkin hal-hal itu secara tidak langsung memikat para pengembara idealis untuk memasukkan anak-anaknya pada sekolah yang bermutu itu.

            Namun keberhasilan itu bukan semata keberhasilan kepala sekolah melainkan keberhasilan semua orang yang terlibat dalam kegiatan manajemen sekolah. Sebagai satu kesatuan, para penggarap manajemen telah mampu menunjukkan kerja yang kualitatif dan kooperatif. Keberhasilan masing-masingnya adalah juga keberhasilan kepala sekolah. Wajah sekolah ada pada kepala sekolah.

            Sebuah karya besar pendidikan telah merealisasikan mimpi dan cita-cita yang ada yaitu berdirinya SD Muhammadiyah Plus di tahun 2005.



Media komunikasi tercepat, terkini, dan terpercaya

February 22, 2015

Alhamdulillah, rasa syukur yang tiada henti selalu kami curahkan karena kemajuan pendidikan yang begitu pesat.  Setelah tahun 2014 kemarin dimunculkan Kurikulum 2013, SD Muhammadiyah Plus juga mengikuti kurikulum tersebut dengan sigap walaupun di akhir tahun 2014 kemarin ditetapkan untuk kembali ke KTSP, no problem…

Pendidikan yang kami tawarkan tidaklah pendidikan yang hanya menghandalkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah saja, tetapi bagaimana pendidikan ini dapat mengikuti perkembangan dunia anak secara psikologi dengan tidak mengabaikan tuntutan perkembangan jaman saat ini.  Hal ini kami buktikan dengan adanya media baru yang kami siapkan untuk pelayanan full 24 jam yaitu School Information Center di no hp: 08113636678.

Orang tua seluruh siswa dapat terhubung dengan grup per kelas putra/i mereka dengan fasilitas online.

Diskusi antar orangtua, guru, kepala sekolah dapat sewaktu-waktu dilakukan.  Saran, masukan, informasi tercepat, terkini, dan terpercaya langsung kami sampaikan melalui media ini.  Inilah yang kami berikan, sehingga orangtua tidak harus datang ke sekolah dan menunggu rapat untuk dapat berkomunikasi dengan pihak sekolah.

Go…go…go… SD Muhammadiyah Plus

 


Tahun ajaran baru, semangat baru

July 5, 2012

Tahun ajaran 2012-2013 ini memang istimewa… Bagaimana tidak? Awal masuk yang sudah direncanakan tanggal 16 Juli 2012 berubah total menjadi tanggal 9 Juli 2012.. Ini berarti segala sesuatu harus dikerjakan dengan cepat… Mulai dari menyusun jadwal, merehap ruang kelas, sampai persiapan mengajar guru harus cepat terselesaikan.. Serasa ndak libur ya… he..he..

Namun demikian, kami tetap semangat menyambut siswa baru sejumlah 52 siswa dan siswa yang sudah naik kelas…

Selamat datang anak-anakku tercinta!!

 


Penerimaan siswa baru 2012/2013

April 5, 2012
PENGUMUMAN PENERIMAAN SISWA BARU (TAMBAHAN)
SD MUHAMMADIYAH PLUS MOJOKERTO
TAHUN PELAJARAN 2012 / 2013
NO NO PDFTR NAMA KETERANGAN
1 37 Atallah Fawwas Hermawan Putra DITERIMA
2 14 Ahmad Noviarsyah Sastrio Raharjo DITERIMA
3 30 Ahmad Nafiis Izzuddin Priadi DITERIMA
4 45 Mokhammad Navycia Al-Ghazali DITERIMA
5 26 Azka Azaria Noor Izza DITERIMA
6 70 Shafira Azzahra Ramadhani DITERIMA
NB : *) Bagi siswa yang diterima, registrasi mulai tanggal 7-16 April 2012
Mojokerto, 5 April 2012
Kepala Sekolah
AMI FAUZIJAH,ST,MT
NBM. 971290

membangun karakter utama untuk kemandirian dan kemajuan bangsa

November 24, 2011

Menjelang akhir tahun 2011, banyak agenda kegiatan yang dilaksanakan SD Muhammadiyah Plus.  Selain kegiatan rutin keagamaan berupa penyembelihan hewan kurban sebanyak 2 ekor sapi dan 7 ekor kambing pada tanggal 7 Nopember 2011, SD Muhammadiyah Plus juga menyelenggarakan Outdoor Activity yang bertujuan memberikan bentuk pembelajaran langsung ke objek belajar.  Outdoor Activity semester ini diselenggarakan untuk masing-masing kelas dengan tujuan yang berbeda-beda.  Kelas 1 dan 2 dengan tema lingkungan, mendatangkan tim dari Pemadam Kebakaran kota Mojokerto.  Kelas 3 dengan tema budaya berkunjung ke Museum Mojopahit dan Candi di Trowulan.  Kelas 4 untuk pembelajaran IPS dan PKn melakukan kunjungan ke SPN (Sekolah Polisi Negara) di Jl. Raya Bangsal.  Sedangkan untuk kelas 5 dan 6 mengadakan observasi pembuatan mie di PT. Suprama Sidoarjo–produsen mie burung dara– yang merupakan salah satu donatur buku-buku perpustakaan SD Muhammadiyah Plus.

Akhir tahun 2011 ditutup dengan kegiatan peringatan tahun baru hijriah 1433 dan Milad Muhammadiyah ke-102/ke-99 bertema membangun karakter utama untuk kemandirian dan kemajuan bangsa yang dilaksanakan tanggal 26 Nopember 2011 dengan penyampaian tausiah oleh ustadz Wahyudi, S.Ag dari Sidoarjo.  Akhir tahun ini juga SD Muhammadiyah Plus diuji dengan fenomena akreditasi yang tidak sesuai dengan harapan sekolah.  “Ada indikasi kecurangan penilaian oleh asesor ketika point-point penilaian yang rendah kami konfirmasi dengan asesor yang bersangkutan” ungkap Ibu Ami Fauzijah, ST, MT selaku kepala Sekolah.  “Kecurangan-kecurangan semacam ini akan kami usut terus, apalagi ada isu bahwa asesor punya standar minimal “sangu” untuk nilai akreditasi tertentu” tambah bu Ami

Namun demikian, apapun itu, tidak melunturkan tekad dan niat ikhlas SD Muhammadiyah Plus untuk tetap menjunjung tinggi kejujuran dan kerja keras.  “Allah akan memberikan hikmah dan pelajaran dari semua kejadian, saya percaya hal itu” demikian bu Ami mengakhiri.


Sekolah tanpa komputer?

November 13, 2011

KOMPAS.com — Silicon Valley terkenal sebagai tempat berkumpulnya
perusahaan-perusahaan teknologi dunia. Namun, para petinggi
perusahaan-perusahaan di Silicon Valley justru menyekolahkan anak mereka di
sekolah yang tidak memiliki komputer sama sekali di Waldorf School of The
Peninsula.

Di era digital dan komputasi saat ini, mengapa petinggi Google, Apple,
Yahoo, dan Hewlett-Packard (HP) menyekolahkan anak mereka di sana?

Sebagian besar sekolah-sekolah di Amerika sedang berlomba-lomba untuk
menjadikan sekolah mereka menjadi sekolah digital dengan memasukkan
pendidikan komputer ke dalam kurikulum dan memasok komputer dalam jumlah
besar. Sekolah Waldorf justru sebaliknya, yang sebisa mungkin menjauhkan
anak-anak dari komputer dan menekankan pendidikan kepada aktivitas fisik
dan belajar secara kreatif. Alat-alat belajar yang digunakan para siswa
adalah pena, kertas, bahkan bisa menggunakan alat rajut dan lumpur.

Di sekolah Waldorf tidak akan ditemukan satu layar komputer pun. Para
pendidik dan orangtua percaya bahwa pendidikan dan teknologi tidak bisa
dicampuradukkan. Para pendidik di sekolah Waldorf percaya bahwa komputer
menghambat pemikiran dan gerakan kreatif anak, serta mengurangi interaksi
antarmanusia secara langsung. “Saya secara fundamental menolak gagasan
bahwa pendidikan pada sekolah dasar membutuhkan alat bantu teknologi. Ide
bahwa iPad dapat mengajarkan anak-anak saya membaca dan melakukan
aritmatika itu konyol,” jelas Alan Eagle (50), salah satu orangtua murid
yang menyekolahkan putrinya di sekolah Waldorf.

Eagle sendiri mengerti tentang teknologi. Ia bahkan memegang gelar Ilmu
Komputer dari Dartmouth dan bekerja sebagai Communication Executive di
Google Inc, di mana ia pernah menulis pidato untuk eksekutif Google, Eric E
Schmidt. Ia mengatakan, putrinya bahkan tidak tahu bagaimana cara
menggunakan Google dan itu tidak masalah baginya.

Eagle menambahkan, tiga per empat siswa di sekolah ini memiliki orangtua
dengan koneksi teknologi yang kuat. Ia melihat tidak ada kontradiksi dengan
memilih menyekolahkan anaknya di sekolah tanpa teknologi. Sementara sekolah
lain memenuhi ruang kelas dengan kabel, sekolah ini justru hanya berhiaskan
papan tulis dengan kapur warna-warni, rak buku ensiklopedi, meja kayu penuh
workbook, dan pensil-pensil.

Sekolah Waldorf mengajarkan anak-anak kelas lima untuk melakukan
keterampilan merajut, membuat kain, sampai membuat kaus kaki. Anak-anak
juga diajari berhitung dengan cara-cara unik, seperti memotong buah menjadi
beberapa bagian dan kegiatan lainnya yang menuntut kreativitas guru dan
siswa.

Beberapa ahli pendidikan mengatakan, dorongan untuk melengkapi ruang kelas
dengan komputer adalah tidak beralasan karena belum ada studi yang
menyatakan bahwa teknologi membuat anak-anak di sekolah dasar lebih cepat
mengalami perkembangan kreativitas. Namun, apakah belajar merajut dan
belajar pecahan melalui potongan kue atau buah adalah alternatif yang lebih
baik, juga belum dipastikan secara ilmiah.
Sepertinya ini dunia yang menyenangkan 🙂


pustakaku, ilmuku

November 2, 2011

Perpustakaan SD Muhammadiyah Plus kebanjiran buku lagi dari PT Suprama Sidoarjo dan JP Books Surabaya yang diserahkan kepada petugas perpustakaan (pak Tib) dan kepala sekolah (bu Ami).  Bantuan buku senilai Rp5.000.000,00  (lima juta rupiah) itu mampir di perpustakaan pada pukul 16.23 tepatnya Kamis, 20 Oktober 2011 setelah melalui survey yang dilakukan bulan Juli yang lalu…

Tanya punya tanya mengapa SD Muhammadiyah Plus terpilih sebagai sekolah penerima? Ternyata kriterianya didasarkan pada bagaimana sekolah mengelola perpustakaan sebagai gudang buku sekaligus jendela ilmu pengetahuan.  Bukti fisik yang paling jelas adalah dari gedung perpustakaan yang dipunyai oleh sekolah dan juga penataan buku pada rak, tidak lupa juga petugas yang siap mendampingi anak-anak untuk membaca buku.

 


bagaimana menjadi kaya?

September 12, 2011

Sekedar Renungan Buat kita Semua
Semoga Bermanfaat

Suatu ketika
Seorang ayah dari keluarga kaya raya,
bermaksud memberi pelajaran,
bagaimana kehidupan orang miskin pada anaknya

Mereka menginap beberapa hari di rumah
keluarga petani yang miskin,
di sebuah dusun di tepi hutan

Dalam perjalanan pulang sang ayah bertanya pada anaknya
Bagaimana perjalanan kita?
Oh sangat menarik ayah

Kamu melihat bagaimana orang miskin hidup?
Sang ayah bertanya.

Ya ayah, sahut sang anak.
Jadi, apa yang dapat kamu pelajari dari perjalanan kita ini?
Tanya sang ayah.

Sang anak menjawab:
Yang saya pelajari kita memiliki satu anjing untuk menjaga rumah kita, mereka punya empat anjing untuk berburu.
Kita punya kolam renang kecil di taman, mereka punya sungai yang tiada batas…

kita punya lampu untuk menerangi taman kita,
mereka punya bintang yang bersinar di malam hari.
Kita memiliki lahan yang kecil untuk hidup
mereka hidup bersama alam

Kita punya pembantu untuk melayani kita,
tapi mereka hidup untuk melayani orang lain.
Kita punya pagar yang tinggi untuk melindungi kita,
mereka punya banyak teman yang saling melindungi

Sang ayah tercengang diam mendengar jawaban anaknya
Lalu sang anak melanjutkan,
Terima kasih ayah,
karena ayah telah menunjukkan betapa miskinnya kita

Bukankah ini suatu sudut pandang yang menakjubkan?
Bersyukurlah dengan apa yang telah kita miliki, dan jangan pernah risau dengan apa yang tidak kita miliki..


passport

August 23, 2011
Tulisan ini nampaknya menarik untuk kita simak jika kita peduli tentang pendidikan anak bangsa…
PASSPORT
Oleh Rhenald Kasali
[Jawapos, 8 Agustus 2011]
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa
orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya
sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah
naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah
pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah
pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR
dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi
tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki “surat ijin
memasuki dunia global.”. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet,
terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu
kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan,
pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia,
Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu
dan bisa dijangkau.

“Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”
Saya katakan saya tidak tahu.
*Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang
bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi
kehidupan dan tujuannya dari uang.
*Dan begitu seorang pemula bertanya
uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir
pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.

Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga
para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah
melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas
kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut
sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri.
Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju.
Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan,
teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para
pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok
backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah,
menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang
bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka
sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis,
yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang
yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh,
bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah
rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima
Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang
dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko,
menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut
kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan
menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain
kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat
teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi
eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
*

The Next Convergence*
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel
ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari
Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk
dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin
masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan
miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak
pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket
pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi
para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima
ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis
melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan
jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu
pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah
kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan
infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada
di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan
memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas
Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat
minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus
Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung
melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau
diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka
perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia
ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf
tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti
menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah
punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi,
jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket,
menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan
kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya
sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun
kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka
anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu
tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang
mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang
meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki
daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit.
Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita,
gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki
pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport
pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di
Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe
yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya
mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus
Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

*Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia *

*RAIHLAH ILMU, DAN UNTUK MERAIH ILMU, BELAJARLAH UNTUK TENANG, DAN SABAR. *

*(KHALIFAH UMAR R.A.)*


Cerita Ramadhan

August 3, 2011

enam tahun berlalu, namun masih terbayang kenangan berdirinya SD Muhammadiyah Plus…. kini… menjelang Ramadhan, saatnya kami bebenah diri untuk akreditasi..

Banyak kegiatan sebenarnya menjelang Ramadhan ini, tapi inilah kisah yang patut diambil hikmahnya..

“Telor  dan Tempe gosong”

Empat puluh tahun telah berlalu, namun masih terbayang jelas kenangan indah itu:

Suatu hari, ibu yang telah bekerja keras sepanjang hari, membereskan rumah tanpa pembantu, harus bangun jam tiga pagi menyiapkan sahur  yang sangat sederhana dengan lauk telur dadar, tempe goreng, sambal teri dan nasi.

Sayangnya karena mengurusi adik yang merengek karena masih mengantuk, tempe dan telor gorengnya agak gosong! Saya melihat ibu sedikit panik, tapi tidak dapat  berbuat banyak, minyak gorengnya sudah habis. Kami menunggu dengan tegang apa reaksi ayah yang melihat telor dan tempe gosong, pasti capek melihat sahurnyahanya tempe dan telur gosong.

Luar biasa!  Ayah dengan tenang menikmati dan memakan semua yang disiapkan ibu dengan tersenyum, dan bahkan berkata, “Bu terima kasih ya!” Lalu ayah terus menanyakan kegiatan saya & adik besok di sekolah.

Selesai sahur, masih di meja makan, saya mendengar ibu meminta maaf karena telor dan tempe yang gosong itu dan satu hal yang tidak pernah saya lupakan adalah apa yang ayah katakan: “Sayang, aku suka telor dan tempe yang gosong, malah enak.”

Setelah subuh, saya bertanya apakah ayah benar-benar menyukai telur dan tempe gosong?”

Ayah memeluk saya erat dengan kedua lengannya yang kekar dan berkata, “Anakku, ibumu sudah bekerja keras sepanjang hari dan dia benar-benar sudah capek. Jadi sepotong telor dan tempe yang gosong tidak akan menyakiti siapa pun kok!”

Ini pelajaran yang saya praktekkan di tahun-tahun berikutnya; “Belajar menerima kesalahan orang lain,  adalah satu kunci yang sangat penting untuk menciptakan sebuah hubungan yang sehat, bertumbuh dan abadi. Ingatlah emosi tidak akan pernah menyelesaikan masalah yang ada dan selalulah berpikir dewasa mengapa sesuatu hal itu bisa terjadi pasti punya alasannya sendiri… Janganlah kita menjadi orang yang egois hanya mau dimengerti, tapi tidak mau mengerti 😉

 

pak nurhadi sedang memandu pemeriksaan mata

 

 

siswa kelas 4 menjalani psikotest

 

pawai ta'aruf menyambut Ramadhan 1432 H